Monday, January 11, 2010

It's Called Fate

Ketika saya duduk di kelas sebelas, saya mengalami suatu kejadian yang mengubah fisik saya –tidak kelihatan sebenarnya – dan seluruh kelanjutan dari kehidupan saya, yang mungkin itu bukan suatu pilihan. Mungkin itu yang dinamakan takdir, yang menggiring saya ke sini, bukan ke sana. Apakah jika saya tidak mengalami hal tersebut, apakah saya tidak akan berada di sini –di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, bertemu dengan sahabat-sahabat baru bahkan menulis post ini– Wallahu ‘alam.

Hari itu seingat saya hari libur, paginya saya memang tidak enak badan. Saat itu saya masih sering memainkan gitar elektrik saya. Tapi tidak biasanya sampai saya mengeluarkan banyak keringat. Mungkin karena saking keasikan, sampai-sampai saya ditegur ibu saya untuk berhenti. Selain itu saya juga mengundang beberapa teman-teman saya untuk makan-makansehabis isya’ karena saat ulang tahun saya memang belum mengundang mereka.

Kemudian karena hari itu hari Rabu (9 April 2008), saya ada jadwal rutin Taekwondo. Saat berangkat, saya menggunakan motor Honda Supra 2006 ke tempat latihan –Dojang Menur– yang kira-kira berjarak 4km dari rumah saya. Waktu itu memang tidak ada feeling apa-apa atau mungkin saya yang kurang peka terhadap feeling tersebut. Di tempat latihan saya dan teman-teman seperti biasa melakukan pemanasan terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan latihan. Setelah latihan selesai biasanya diadakan latihan sparing untuk murid-murid Dojang yang sudah memiliki dasar-dasar menendang maupun memukul. Ditengah-tengah latihan, saya dipanggil Sabum –sebutan untuk guru di Taekwondo– Pram untuk masuk ke arena –padahal saya baru bisa dollyo chag ,sebelumnya saya memang belum pernah diikutkan dalam latihan sparing. Latihan sparing benar menguras energi saya, ditambah lagi dengan tendangan dari Sabum yang –argh— benar-benar membuat perut saya mulas. Setelah benar-benar lemas saya digantikan dengan teman saya.

Setelah latihan selesai dan cukup energi terkumpul saya pulang dengan rute biasa. Hari sudah sore dan ditambah lagi dengan hujan grimis.Perjalanan pulang saya mulai dari Dojang kemudian berhenti di bangjo Jetis, kemudian memasuki jalan Kartini. Di depan SMAN 3 tiba-tiba “dharrr” –saya tidak ingat bagaimana suara kecelakaan itu dan apa yang saya tabrak– seingat saya, saya tidak dapat merasakan kaki kiri saya lalu saya tidak ingat lagi. Mungkin orang sekitar saya mengerumuni saya dan memindahkan saya ke trotoar. Tiba-tiba saya sudah ada di dalam mobil ambulan –samar-samar terdengar sirine dan ocehan dari suster di sebelah saya– menuju RSU Salatiga. Saya tahu saya amnesia tapi saya ingat nomor telepon rumah saya, mengenal kelurga dan teman-teman saya yang seharusnya saya undang untuk makan malah harus berada di rumah sakit –tapi saya benar-benar lupa apa yang terjadi di rumah sakit– dan yang bisa saya ingat saat saya dimasukkan ke mobil (lagi) yang entah akan dibawa kemana.

Paginya, ­Kamis 10 April 2008, –ketika saya sadar sepenuhnya– saya diberitahu bapak saya kalau saya patah tulang femur kiri dan berada di Rumah Sakit Ortopedi Surakarta. Setelah bangun, jam 6 pagai, itupun saya langsung di bawa ke ruang anestesi dan kemudian di operasi. Sebelum masuk ke dalam ruang anestesi saya tahu betapa saya membuat bapak dan ibu saya khawatir. Di dalam ruang anestesi saya bertemu dengan ibu-ibu yang mungkin juga akan dioperasi dan selanjutnya entah apa yang terjadi saya lupa.

Saya terbangun kira-kira jam 10 pagi dan seperti yang dikatakan orangtua saya, operasinya sudah selesai jam 8 pagi. Kaki kiri saya terlihat gendut –bengkak– dan masih belum terasa sakit. Seperti pengalaman orang-orang yang pernah dioperasi sebelumnya, rasa sakitnya akan terasa beberapa jam setelah operasi, tapi subhanallah saya tidak merasakan rasa sakit yang berarti seperti orang-orang katakan. Malahan setelah operasi saya kebanyakan tidur.

Saya menginap di rumah sakit hingga Senin pagi. Tiap hari banyak saudara, teman dan tetangga yang menjenguk saya. Bagaimana saya bisa membalas kebiaikan kalian tanpa harus menjenguk kalian waktu sakit. Bukankah lebih baik kalian sehat sepanjang kehidupan kalian. Amin.

Sabtunya saya sudah menjalani terapi berjalan menggunakan entah apa namanya –semacam alat bantu berjalan berkaki empat– mengelilingi komplek flamboyan. Cepat sekali memang, setelah itu perban saya diganti dan untuk pertama kalinya saya melihat bekas jahitan yang berbentuk garis lurus sepenjang 17cm di lutut kiri saya. Hari berikutnya saya dibelikan krek –alat bantu berjalan yang lebih simple—untuk berlatih berjalan sehari-harinya kelak. Selain itu saya sudah harus berlatih menekuk kaki kiri saya. Latihan ini benar-benar menyakitkan, otot-otot saya yang masih kaku dipaksa untuk menekuk. Saya harus tidur tengkurap kemudian diajarkan untuk menarik kaki ke arah kepala dengan selendang. Latihan itu saya lakukan tiap hari, dan Alhamdulillah bisa menekuk sepenuhnya sekitar setelah beberapa minggu dengan latihan rutin.

Setelah hari-hari saya di rumah sakit, saya pulang ke rumah dan masih menggunakan krek untuk membantu berjalan saya selama 5 bulan. Benar-benar berat menggunakan alat bantu tersebut kemana-mana termasuk ke sekolah. Pusat perhatian, pasti. Tapi itu tidak begitu masalah karena lumayan untuk bisa lebih terkenal, haha. Semua pengalaman ini yang mungkin membawa saya menuju apa yang sudah saya raih sekarang dan saya sangat mensyukurinya, keluarga, sahabat dan kuliah dimana memang saya inginkan. Thank you Allah, Alhamdulillah.

:)

0 comments:

Post a Comment